Kondisi
lingkungan yang rusak di sempadan Sungai Wampu di sekitar kelurahan
Bingai perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Terjadinya
abrasi sungai, adanya penambangan pasir (galian C), kurangnya kesadaran
konservasi dan alih fungsi lahan dari tanaman pangan ke kelapa sawit
merupakan beberapa faktor penyebabnya. Akibatnya, salah satu dampak yang
kerap dialami masyarakat kelurahan Bingai adalah banjir. Banjir yang
dulunya hanya terjadi dalam jangka 10 tahun sekali, kini bisa terjadi 2
kali setahun. Begitu juga dengan berkurangnya jenis dan jumlah ikan yang
masih hidup di sungai.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini diungkapkan warga kelurahan Bingai
saat melakukan pemetaan potensi dan masalah kelurahan pada Rabu (25/2),
di Dusun III Ujung Baka, Kelurahan Bingai, Kecamatan Wampu, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara. Kegiatan yang menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA) yang diadakan BITRA Indonesia ini turut dihadiri oleh Lurah Bingai dan aparat Babinsa.
Selanjutnya, dari paparan para peserta diketahui bahwa selain
permasalahan sempadan sungai, kebun tanaman campuran yang tersedia lebih
kurang 40 Ha pada kelurahan ini juga belum terkelola secara maksimal.
Masyarakat masih menganggap kebun tanaman campuran mereka bukan sumber
penghasilan, karena penataan tegakan tanaman, serta pengetahuan budidaya
dan pemahaman bahwa konservasi yang juga bernilai ekonomi belum
diterapkan.
Menurut Suwandi dari Babinsa, pengetahuan masyarakat tentang tanaman
organik rendah. “Jadi, perlu ditingkatkan untuk tanaman pekarangan
hortikultura yang juga dapat sebagai penambah penghasilan dan gizi
keluarga,” ujarnya.
Mengenai budidaya ikan darat, tambah Suwandi, sebelumnya masyarakat
pernah melakukannya dengan budidaya ikan darat dengan kolam. Namun,
karena kekurangan modal, kolam yang jika disatukan ada sekitar 5 Ha itu
kini terlantar. Begitu juga ibu rumah tangga yang mencari tambahan
ekonomi keluarga dengan menyerut lidi sawit. Para penyerut yang terdiri
hampir 40% perempuan dewasa dan anak-anak yang ada di kelurahan ini
mengaku kesulitan modal dalam menyediakan alat serut yang efektif. Saat
ini, lidi sawit bersih yang telah siap diserut dijual kepada pengumpul
dengan harga Rp 1.000,- per kilogram.
Dalam paparannya, Iswan Kaputra dari BITRA Indonesia mengingatkan,
dengan dilakukannya pemetaan potensi dan masalah, setidaknya masyarakat
kelurahan Bingai ini dapat lebih memahami apa yang menjadi persoalan di
dusun mereka masing-masing. Sehingga ke depannya, mereka dapat
menyelesaikan persoalan tersebut secara lebih baik dan berkelanjutan.
“Untuk itu, perlu dipahami, hadirnya BITRA di sini untuk memberikan
pengetahuan kepada masyarakat sebagai “modal” dalam menyelesaikan
persoalan. Tapi bukan modal dalam bentuk materi (uang), melainkan modal
dalam bentuk pengetahuan atau keterampilan. Misalnya pengetahuan dan
keterampilan yang menyangkut konservasi daerah aliran sungai (DAS) untuk
menjawab permasalahan masyarakat yang berada di sekitar DAS Wampu,”
jelasnya. (jc)