Senin, 02 Maret 2015

Pengetahuan Konservasi DAS sebagai Modal

Kondisi lingkungan yang rusak di sempadan Sungai Wampu di sekitar kelurahan Bingai perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Terjadinya abrasi sungai, adanya penambangan pasir (galian C), kurangnya kesadaran konservasi dan alih fungsi lahan dari tanaman pangan ke kelapa sawit merupakan beberapa faktor penyebabnya. Akibatnya, salah satu dampak yang kerap dialami masyarakat kelurahan Bingai adalah banjir. Banjir yang dulunya hanya terjadi dalam jangka 10 tahun sekali, kini bisa terjadi 2 kali setahun. Begitu juga dengan berkurangnya jenis dan jumlah ikan yang masih hidup di sungai.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini diungkapkan warga kelurahan Bingai saat melakukan pemetaan potensi dan masalah kelurahan pada Rabu (25/2), di Dusun III Ujung Baka, Kelurahan Bingai, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kegiatan yang menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA) yang diadakan BITRA Indonesia ini turut dihadiri oleh Lurah Bingai dan aparat Babinsa.
Selanjutnya, dari paparan para peserta diketahui bahwa selain permasalahan sempadan sungai, kebun tanaman campuran yang tersedia lebih kurang 40 Ha pada kelurahan ini juga belum terkelola secara maksimal. Masyarakat masih menganggap kebun tanaman campuran mereka bukan sumber penghasilan, karena penataan tegakan tanaman, serta pengetahuan budidaya dan pemahaman bahwa konservasi yang juga bernilai ekonomi belum diterapkan.
Menurut Suwandi dari Babinsa, pengetahuan masyarakat tentang tanaman organik rendah. “Jadi, perlu ditingkatkan untuk tanaman pekarangan hortikultura yang juga dapat sebagai penambah penghasilan dan gizi keluarga,” ujarnya.
Mengenai budidaya ikan darat, tambah Suwandi, sebelumnya masyarakat pernah melakukannya dengan budidaya ikan darat dengan kolam. Namun, karena kekurangan modal, kolam yang jika disatukan ada sekitar 5 Ha itu kini terlantar. Begitu juga ibu rumah tangga yang mencari tambahan ekonomi keluarga dengan menyerut lidi sawit. Para penyerut yang terdiri hampir 40% perempuan dewasa dan anak-anak yang ada di kelurahan ini mengaku kesulitan modal dalam menyediakan alat serut yang efektif. Saat ini, lidi sawit bersih yang telah siap diserut dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 1.000,- per kilogram.
Dalam paparannya, Iswan Kaputra dari BITRA Indonesia mengingatkan, dengan dilakukannya pemetaan potensi dan masalah, setidaknya masyarakat kelurahan Bingai ini dapat lebih memahami apa yang menjadi persoalan di dusun mereka masing-masing. Sehingga ke depannya, mereka dapat menyelesaikan persoalan tersebut secara lebih baik dan berkelanjutan. “Untuk itu, perlu dipahami, hadirnya BITRA di sini untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat sebagai “modal” dalam menyelesaikan persoalan. Tapi bukan modal dalam bentuk materi (uang), melainkan modal dalam bentuk pengetahuan atau keterampilan. Misalnya pengetahuan dan keterampilan yang menyangkut konservasi daerah aliran sungai (DAS) untuk menjawab permasalahan masyarakat yang berada di sekitar DAS Wampu,” jelasnya. (jc)
 

Blogger news

Blogroll

About